Touch your heart Gambar oleh 坤 张 dari Pixabay |
Itu sebuah kata penuh arti dalam diriku, mau soal apapun akan berguna sebagai bentuk sebuah perasaan penuh tantangan.
Iya, begitulah diriku dalam menyikapi sebuah situasi dalam berkehidupan. Sisi hati tak akan pernah ku abaikan demi terciptanya keselarasan serta keseimbangan dari diri dan rasa.
Mungkin lain halnya dengan orang lain, mereka tak ubahnya diriku sisi yang lain. Hanya ingin mengedepankan bentuk atau rupa dari situasi yang mereka hadapi dalam hidup. Terkadang diri dan rasa saling bergejolak adu kekuatan demi mendapatkan sesuatu yang ada.
Manakala diri sudah unjuk gigi dengan keegoisannya, rasapun tak pernah mau menahan apa yang dia punya. Dari sisi diri mungkin lebih ke dalam logika berdasarkan analisa diri dalam kehidupan. Begitupun rasa akan mengedepankan sebuah kepuasan serta kebahagiaan walau terkadang harus menerjang norma-norma yang ada. Walaupun norma tersebut merupakan sebuah pemikiran dari hasil analisa logika diri yang berkompromi dengan lingkungan dalam kumpulan diri yang massive.
Menunjukkan kesatuan diri dan rasa terkadang membuat lingkungan menjadi musuh terbesar untuk kita. Pola pemikiran sesuai rasa memang akan membuat logika bergejolak dari hal yang bersifat tabu dan terkadang diluar nalar. Namun hal ini harus kita tunjukkan sebagai bentuk kejujuran dalam diri kita dan berbakti pada kuasa sang khalik.
Model diri dengan orang lain tentu saja memiliki perbedaan yang unik untuk kita gali, baik dari pola pikir maupun bentuk yang lain misalnya fisik. Kesempurnaan diri sebenarnya adalah mampu menunjukkan keunikan diri untuk lebih fulgar dihadapan kehidupan itu sendiri.
Romantisme dalam sebuah kehidupan itu tercipta karena manusia mampu untuk menjadi dirinya sendiri tanpa pengaruh dari orang lain. Jadi jangan sampai kita menjadi diri namun bukan diri kita sendiri. Kita mengalami banyak pengalaman diri semenjak kita dilahirkan, berbagai karakter diri sudah pula kita temui dan itulah yang membuat diri kita terbentuk menjadi manusia dengan segala keunikannya.
Idealis mungkin saja itu kata yang tepat untuk menggambarkan diri kita yang sebenarnya. Idealis tercipta karena itu datang dari diri kita secara pola pikir yang singkron dengan hati ataupun rasa yang kita miliki. Entah itu sifat, tanggap kita terhadap sesuatu baik itu lingkungan maupun orang lain. Terkadang kita tak bisa mengontrol arus yang datang dari lingkungan kita sendiri, lebih baik kita menjadi bagian dari arus tersebut. Apakah hal ini menjadikan kita bukan seorang dengan idealis kita?
Pertentangan dari diri dan rasa pastinya akan selalu ada dalam setiap kehidupan yang kita jalani. Lingkungan merupakan sebuah kompromi dari diri dan rasa terhadap pola pikir orang lain dan itu merupakan sebuah tindakan dari manusia itu sendiri karena manusia itu merupakan mahluk sosial yang tak bisa hidup sendiri. Jadi itulah mengapa diperlukan kompromi diri terhadap lingkungan sekitar.
Pada dasarnya manusia itu baik, walaupun kita dilahirkan dari orang yang memiliki sifat jahat dominan pun kita lahir akan menjadi manusia suci. Yang membuat kita menjadi dominan negatif adalah lingkungan sekitar. Namun jika kita menilik diri kita sendiri dengan penuh kejujuran pastinya kita tak akan menjadi manusia yang jahat.
Terkadang diri dan rasa sudah dibutakan oleh ketidak mampuan diri kita untuk mengerti apakah kita itu sudah melakukan hal yang baik ataupun tidak. Lagi-lagi kita diuji sampai rasa kita dibutakan oleh logika yang salah dalam menganalisa sesuatu.
Ilmu pengetahuan itu diperlukan untuk membuat logika kita menjadi lebih banyak filternya. Tuntutlah diri untuk selalu haus akan pengetahuan kehidupan yang penuh dengan teka-teki ini. Biarkan semua logika yang kita miliki itu difilter dengan penyeimbang diri yaitu rasa. Jangan biarkan tidak seimbang antara diri dan rasa dalam menjalankan diri berkehidupan.
Carilah kebahagiaan bukan kekuasaan ataupun hal lain yang hanya memanjakan logika diri saja. Namun rasa dengan segala kejujurannya akan membawa kita ke tahap kebahagiaan.
Manusia itu seiring bertambahnya waktu akan semakin banyak menyerap berbagai ilmu pengetahuan dan itu membuat logika menjadi sibuk dan lebih sibuk untuk menganalisa. Karena banyaknya analisa yang dihasikan tentu saja pikiran kita semakin bekerja lebih keras. karena telalu banyak analisa untuk menjadi pertimbangan menjadikan rasa semakin tertekan dalam memberikan pertimbanganya bahkan lama kelamaan akan menjadikan rasa mati.
Jika rasa sudah mati kita akan menjadi manusia penuh kebingungan dalam menjalankan apakah itu merupakan sebuah kebenaran diri ataukah bukan. Manusia akan menjadi buas dalam menjalani kehidupannya. Ketenangan dalam menjadi diri yang sebenarnya akan menutup dan kebimbangan serta kegelisahan akan selalu meliputinya.
Keseimbangan diri dan rasa itu diperlukan guna mendapatkan ketenangan dalam menjalankan sebuah perjalanan dalam hidup kita. Mungkin kita menjadi manusia yang sangat berbeda dalam lingkungan kita, namun itu merupakan sebuah manivestasi diri yang berkejujuran akan sebuah kejujuran itu sendiri. Mayoritas belum tentu sebuah kebenaran, namun hati selalu tau mana itu kejujuran akan kebenaran jika kita benar dalam menerjemahkan untuk sesuatu tersebut.
Seringkali kita terjebak dalam sebuah pemikiran penuh kamuflase akan kebenaran. itu karena kita tak menjadi apa yang seharusnya kita sesungguhnya. Bukan diri kita untuk menjadi diri dan rasa yang seharusnya, namun kita menjadi kita karena pengaruh lingkungan yang seharusnya itu tidak kita lakukan. Toh kita bisa berpikir dan merasakan kejujuran dari diri kita. banyak yang tidak mendengarkan rasa dari dalam diri yang selalu berkata atas nama kejujuran.
Ambisi merupakan sebuah motivasi diri yang ambigu kalau menurut diri dan rasa, mengapa hal ini bisa begitu?
Ambisi itu bisa menjadi positif dan bisa juga menjadi negatif, ambisi yang positif adalah ambisi dalam artian menjunjung tinggi nilai kejujuran untuk kebenaran guna mencapai kebahagiaan untuk diri dan lingkungan luas. Bukan hanya untuk memenuhi tetapi harus merugikan orang lain bahkan lebih besar lagi merugikan lingkungan yang harusnya kita jaga.
Faktor penyebab diri dan rasa menjadi bukan diri kita sendiri ini lebih ke faktor dari dalam. Jika kita melihat dari faktor luar, tentu saja akan semakin komplek yang mempengaruhi diri untuk menjadikan kejujuran di atas segalanya.
Untuk lebih siap menghadapi segala ancaman dari luar diri kita, sebaiknya kita memperkuat diri dan rasa kita. Dengarkan rasa jangan hanya mengandalkan logika dengan analisa-analisanya yang ruwet itu.
Perdebatan diri ini mungkin saja tak sesuai dengan pola pemikiran orang lain sehingga diperlukan sebuah kedalaman dalam kita berpikir. Renungkan dalam diri bahwa kita itu tak bisa menjadi diri atas kehendak orang lain, tetapi jadilah diri yang terbentuk karena kita sendiri atas kehendak diri dan rasa kita. Walaupun pengaruh dari pola pikir orang lain itu bakalan menjadi pembeda satu dengan lainnya.
Segala kebaikan tidak menjadikan diri kita menjadi orang lain, namun menjadikan diri kita yang sebenarnya tumbuh menjadi lebih kuat dan lebih bijak dalam mengedepankan kebaikan itu sendiri.
Apa yang terjadi beberapa waktu ini, memang mengguncang kewarasan diri kita untuk tetap dalam jalan yang kita kehendaki. Pola kehidupan menjadi berubah karena kejadian luar biasa yang terjadi, dari pandemi sampai yang terkini adalah bencana alam. Keseharian yang sudah terbentuk dalam beberapa dekade ini menjadi drastis berubah, ini apakah sebuah bentuk dari ambisi segelintir manusia untuk menjadikan diri mereka lebih dalam hal bersosial ataukah hanya sebuah perubahan dari semesta?
Kita tak akan pernah tau apakah ini memang sudah ada dalam pola kehidupan dunia, tapi yang pasti kita harus menjadi diri dan rasa yang kita inginkan dan ambil tindakan dalam pola pikir yang kita yakini. Keselarasan diri dan rasa juga ditunjang dari manusia itu sendiri dalam belajar dan terus belajar untuk mengembangkan pola pikir diri guna menggunakan analisa logika yang lebih baik dengan keseimbangan rasa sebagai pengendali diri.
Jika logika dan hati nurani bertentangan sebaiknya kembali belajar untuk menyelaraskan, mungkin saja ada ketidak seimbangan antara keduanya yang belum kita temukan analisanya. Untuk itu pergunakan pemikiran kita dalam bentuk analisa diri pengetahuan baru yang lebih unggul. Ketidakpastian itu akan selalu ada jika kita hanya berpikir dari segi keruwetannya. Maka sederhanakanlah hal itu dengan segala ilmu pengetahuan yang kita bisa pelajari setiap waktu. pendidikan tak hanya terpaku hanya lewat akademik, tetapi ilmu berkehidupan itu sangat luas dan banyak cara dan tempat untuk kita menjadi lebih berilmu.
Mulailah dengan jujur terhadap diri, fokuslah pada diri anda sebelum anda berani menantang keresahan lingkungan yang bertentangan dengan diri dan rasa.
Biarkan diri ini belajar untuk lebih berkata jujur dan beranalisa atas kehendak diri itu sendiri bukan orang lain. Mungkin sekarang masa kita untuk lebih fokus pada diri sebelum era baru dimulai kembali.
Kesedihan serta kekecewaan diri terhadap situasi memang membuat kita menjadi frustasi akan apa yang akan kita lakukan sekarang. Tetapi percayalah bahwa kita dibekali diri logika dan rasa sejak kita dilahirkan maka pergunakanlah itu lebih maksimal. Jangan berhenti untuk menyerah, tetapi berhentilah untuk mengintrospeksi diri dan mengenali diri lebih baik lagi.
Masa depan bukan untuk kita khawatirkan tetapi kita pikirkan langkah dan strategi kita lebih kuat dalam menjalani masa yang belum kita alami tersebut.
Tentang rasa
Jauh dari logika tapi dekat dengan diri
Akan ada waktu untuk berunjuk gigi
Seimbangkan logika dan rasa dalam diri
Untuk kita lebih bijak dalam menyadari diri
Comments
Post a Comment