"Gombale mukio.......hehhh...hayo kowe kui, malah tingak-tinguk", teluntuk ini menunjuk pada ujung hidungku sendiri.
Tangan kanan sedang mengepal dengan sempurna, sedangkan tangan kiri dengan telunjuk menempel pada hidung ku dengan penuh ekspresi menatap cermin. Oalah tampang pecicilan, apa sih yang kau mau sampai berbuat seperti itu. Hal tersebut bukan cerminan manusia pada layaknya kau hidup sepanjang kau menjalaninya.
Kau mau bukan hanya ku tunjuk hidung doang?
Kau mau ku jambak juga rambut tipismu?
Kau bukan sekedar manusia biasa yang pada umumnya dulll...dulll...tingkahmu wis ngluwihi kodratmu sebagai manusia. Dasar payah.....payah!
Lihatlah dalam-dalam dari matamu itu, tatap penuh dengan hatimu bukan logikamu. Apa yang kau temukan dari dalam matamu?
Oh, aku tau apa yang ada dalam mataku, terlihat kejernihan diri penuh ketenangan memberikanku kehidupan yang pantas untuk kujalani sepanjang perjalananku selama ini.
Nah, itu dia yang kumaksudkan bukan seperti apa yang sudah kau lakukan belakangan ini. Memang kita sebagai manusia itu tak ada yang sempurna, memang manusia itu hanyalah mahluk ciptaan tuhan yang paling sempurna tapi bukan mahluk sesempurna yang kau perlihatkan dong!
Dasar kau manusia munafik, itu yang kau bicarakan adalah bagian dari dirimu sendiri.
Bukan....bukan itu maksudku, kita kan sedang berdiskusi antara aku dengan sisi diriku yang lain yaitu kamu.
Sudahlah kita sekarang berdamai dengan situasi seperti ini supaya kita bisa mendapatkan solusi terbaik dari yang baik, betul tidak?
Semalam aku sudah bercerita dengan segala macam perdebatan diri dengan penuh emosional sekali, alangkah baiknya redakan emosi dulu untuk memberikan kejernihan dalam melihat sesuatu masalah yang sedang berjalan menggerogoti diri. Amalan untuk membuat diri menjadi jernih adalah dengan curhat dengan gusti yang kuasa akan diri kita dan segala mahluk ciptaan.
Bagaimana membuat orang sekitar kita menjadi sadar akan kuasa sang ilahi, memberikan dengan segenap hati ini untuk berserah diri kepadanya atas masalah kita. Saat ini yang bisa kita lakukan hanyalah membuat orang tersebut memberikan kejujuran terhadap diri sendiri atas apa yang telah terjadi. Tanpa mau menerima diri menjadikan diri sendiri akan selalu mendapatkan ketidak pastian atas apa yang dia rasakan sebenarnya. Jadi intinya akupun akan melakukan kejujuran terhadap diri sendiri dan akan terus belajar menjadi orang yang selalu jujur atas apa yang ku rasakan dan kenyataan yang terjadi.
Walaupun itu sebuah kenyataan yang pahit sekalipun sebaiknya berdamai dengan diri untuk menerima hal tersebut demi keplongan diri akan situasi yang terjadi. Namun terkadang kejujuran itu hanyalah sebuah wacana dan sebuah bualan semata karena harus terkubur atas gengsi yang kita miliki.
Apakah diri ini bisa menerima dengan gampang apa yang menjadi kejujuran yang terjadi?
Bisa saja kejujuran ini akan membuat kita dalam masalah dilingkungan kita sekarang dan masa yang akan datang. Perasaan ketakutan yang muncul ini tak bisa kita terima dengan sepenuh hati karena rasa ingin memperjuangkan hubungan dengan lingkungan sekitar lebih besar daripada ketentraman dalam diri ini.
Padahal sebuah kejujuran itu merupakan kunci terbesar dalam menghasilkan diri yang lebih baik dan lebih menenangkan jiwa diri itu sendiri.
Sudahlah diri semua mungkin butuh waktu untuk menuju ke sebuah kejujuran, kita sebaiknya bersama dalam satu visi ya?
Baiklah diri dan aku percaya akan masa depan penuh dengan sebuah kejujuran dan itu akan membuat kita menjadi lebih tenang dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. Kalau itu semua sebuah kebaikan pastinya akan berjalan dengan semestinya harapan diri kita.
Pengen keluar dari lingkungan yang terus menerus membuat diri ini lelah memang menyebalkan betul tidak diri?
Terkadang kita harus menggunakan sebuah topeng untuk menutupi ekspresi kita yang tak sesuai dengan prinsip kejujuran itu sendiri. Lantas apa sih yang mendasari diri untuk tidak dalam menjunjung kejujuran di atas segalanya? Pertanyaan yang menarik untuk dipecahkan bersama nih diri!
Penerimaan lingkungan menjadi sebuah tembok besar untuk menjadikan diri ini menjadi manusia yang jujur, betul tidak diri?
diri : Mungkin iya, itu merupakan masalah terbesar dariku untuk menjadi manusia yang plong dalam artian jujur terhadap apa yang dirasakan.
aku : Bener sih diri, kita memang masih tabu dalam menyampaikan kebenaran rasa yang ada dalam diri, lantas langkah apa dong diri yang harus kita lakukan untuk mendapatkan kepercayaan diri menyampaikan kejujuran rasa yang kita miliki?
Itu sebuah perdebatan atau tepatnya diskusi diri dengan aku sendiri, perlahan mempertanyakan dan makin banyak pertanyaan yang muncul dalam diri yang keluar satu demi satu. Alangkah bijaknya kalau hal ini bisa diceritakan kepada orang yang lebih mengerti solusi atau lebih tepatnya orang dengan kompetensi dalam bidang ini.
diri : Kita itu seorang dengan ketidaknyamanan diri untuk ekspresif dalam melakukan hal dilingkungan sosial pergaulan. Kita ini seorang dengan karakter tertutup untuk mengeksplor diri ke khalayak. Tantangan besar buat diri kita untuk melakukan hal luar zona nyaman.
aku : Wah benar juga ya diri, ingin menunjukkan eksistensi diri saja sudah membutuhkan sebuah effort yang besar. hmm...pengen berdiskusi dengan orang lain kita juga terlalu pilih-pilih juga orangnya.
Terlepas dari kondisi kita sekarang, dengan cara menuliskan apa yang dirasa kita perlu sampaikan membuat kita menjadi lebih lega. Apakah ini sebuah solusi ataukah bukan ya diri?
diri : Bisa jadi ini memang solusinya bro, coba kita rasakan apakah memang benar adanya diri ini menjadi tersampaikan dalam melihat sebuah keresahan dalam diri ini? Lebih menarik lagi jika hal tersebut bisa menjadikan lupa akan waktu jika kita melakukannya.
Larik demi larik menjadi bertambah seiring bertambah pula aktifitas yang kita lakukan dalam menulis. Sisi kita menjadi tertarik akan rangkaian kata yang keluar dalam diri untuk menjadi sebuah tulisan yang terpampang berbaris-baris.
Sebuah jawaban utama dalam perjalanan hidup kita adalah sebuah perpaduan diri dengan melakukan kegiatan menulis apapun itu. Perlu kita perbanyak dan kita kembangkan hingga apapun kita sebaiknya abadikan dalam sebuah karya tulisan.
Ya, betul sekali diri ini menjadi merasa ingin dan ingin lagi untuk menuliskan ungkapan dalam diri yang tak pernah bisa terucap ke dalam bentuk rangkaian kata demi kata hingga menjadikan itu sebuah cerita atau apalah namanya.
Sekian dulu ku tuliskan perasaan diri sebagai pengingat diri untuk berkembang.
Comments
Post a Comment