Adaptasi terhadap lingkungan Gambar oleh Nicholas Demetriades dari Pixabay |
Problematika kehidupan berkeluarga, yups....pembahasan sedikit tebal kali ini akan ku bahas. Ketika kita menjalani kisah bersama keluarga baik itu istri, suami, anak ataupun saudara dari masing-masing banyak sekali terjadi dan bahkan tak jarang membuat kita harus mengeluarkan energi berlebih untuk hal yang terjadi.
Tak jarang pada saat kita mengalami sebuah problematika tersebut harus mengernyitkan dahi makin berlipat lipat, benar tidak sih?
Setiap manusia dalam sebuah hubungan pastinya akan banyak terjadi perbedaan baik itu pandangan ataupun tujuan menentukan langkah. Namun, kita sebagai manusia diciptakan dalam keberagaman baik itu budaya maupun agama. Hal tersebut yang membuat setiap individu akan berbeda satu sama lain. Kelebihan yang dimiliki setiap manusia itu berbeda namun, ada kesamaan yaitu adaptif dalam berkompromi terhadap lingkungan baru.
Nah, kompromi merupakan sebuah jawaban tepat untuk menetralisir adanya perdebatan yang sering terjadi dalam sebuah hubungan baik itu pacaran, pertemanan hingga dalam berkeluarga. Misalnya saja begini dalam menikmati sebuah hidangan ada yang menggunakan sendok dan ada pula yang menggunakan sumpit atau bahkan menggunakan tangan kosong. Itulah perbedaan yang kita harus tau dan terima dalam lingkungan sosial masyarakat.
Terima kenyataan dan adaptiflah dengan situasi dan kondisi yang ada, kompromilah dengan diri kita sendiri untuk bersama berjalan beriringan berdampingan dengan orang lain. Walaupun itu awalnya akan terlihat kaku namun cobalah untuk melakukannya, selama kita bisa menikmati pasti lama kelamaan akan tercipta suasana baru yang nyaman untuk kedua belah pihak.
Kita hidup dalam kultur dunia yang mengadopsi adat ketimuran dimana ketidak enakan itu menjadi kental. Berbeda dengan adat kebarat-baratan dimana mereka sudah lepas dari kata tidak enak. Kejujuran merupakan sebuah budaya yang mereka bangun, jika budaya timur lebih menjaga perasaan dari orang lain dimana itu merupakan sebuah tuntutan adat itu sendiri. Berbeda dengan orang barat mereka lebih blak-blakan kalau tidak suka atau menyampaikan sesuatu mengenai apa yang dia lihat atau rasakan.
Memang berbeda karena beda kultur ya tentu saja berbeda juga aturan mainnya. Sama seperti percampuran budaya atau kultur tersebut dalam sebuah ikatan keluarga. Mereka bisa menjadi satu dalam ikatan keluarga karena mereka mau untuk berkompromi dan adaptif satu sama lain. Itulah pentingnya kompromi untuk adaptif menciptakan sebuah kultur baru atau melebur ke dalam sebuah kultur yang baru bersama orang lain.
Banyak macamnya perbedaan tersebut, misalnya saja dari makanan yang biasa kita makan sehari-hari. Kita kalau masuk dalam sebuah kultur baru tentu saja akan menghadapi sebuah problematika ini, kita biasa makan dengan masakan sedikit manis namun pada kultur yang baru kita datangi atau kita bergabung disitu lebih suka makanan asin, itu sebuah masalah bukan?
Pernah suatu ketika ku merantau dalam sebuah misi pekerjaan di luar daerah bahkan luar pulau. Awal berada disana memang merupakan sebuah kesulitan yang harus kuhadapi. Kendalanya banyak, dari bahasa yang digunakan sehari-hari tentu saja sudah berbeda, makanan juga berbeda itu merupakan sebuah problematika yang harus ku lalui yaitu dengan berdamai dengan diri sendiri untuk adaptif dengan lingkungan baru yang ku tinggali saat itu.
Hal pertama yang kulakukan adalah menemukan orang yang tepat untuk menggali kultur disana sebagai riset untuk mencoba memahami apa yang sedang ku hadapi saat itu. Hal tersebut kulakukan untuk mengetahui sisi mana yang bisa ku terima dan tidak itu hal pertama yang kulakukan. Informasi sebanyak mungkin lebih baik untuk lebih kita mengerti budaya yang ada disitu. Selanjutnya kulakukan adalah adaptif terhadap lingkungan dari yang terkecil dulu, misalnya saja pada waktu itu lingkungan kerjaku.
Butuh waktu lumayan lama untuk mengikuti adat yang ada disitu, harus berjalan bertemu dengan banyak orang lokal disana demi mendapatkan informasi terkait budaya atau kultur disana. Makanan yang tersebar dipenjuru lingkungan serta mengkompromikan dengan lidahku yang semenjak kecil sudah terbiasa dengan masakan khas daerahku.
karena sudah banyak riset akhirnya pelan-pelan ku berkompromi dengan itu hingga akhirnya adaptif dengan lingkungan baruku.
Sama halnya dengan berkeluarga juga seperti itu, kita awal memang merasakan canggung terhadap lingkungan keluarga baru kita namun tapi pasti kita bisa berdaptasi dengan baik jika kita mau untuk melakukannya.
Problematika itu akan lemah dan tergerus oleh kompromi yang kita adaptif. Langkah selanjutnya setelah adaptif adalah untuk menyatukan visi dengan berkolaborasi mencapainya bersama-sama.
Comments
Post a Comment